Friday, March 21, 2014

Nama

Hola halo apa kabar semua? Saya baru aja mudik dan seperti biasa dapet oleh-oleh cerita :) Udah lama banget nggak nulis dan I just want to say thank you buat semua respon, email, pertanyaan dan sharing teman-teman semua lewat jalur email. Appreciate it much! Saya coba balas semua email yang masuk tapi kalau yang ditanyakan sudah pernah diceritakan/ditulis di blog, I won't be bother to reply it alias ga akan dijawab :p Sudah ditulis di kitab suci: Iqra! Bacalah! Jadi sebelum email saya dengan sederet pertanyaan (mostly soal au pair), silahkan dibaca dulu seri Au Pair-nya, hehehehehe... Kali ini saya mau cerita soal NAMA. Kenapa nama? Well, hampir semua orang punya nama. Saya belum pernah ketemu orang yang tidak punya nama, have you? Mungkin bayi baru lahir belum punya nama karena sang orang tua masih bingung menentukan nama atau mungkin belum ketemu nama yang cocok. Saya punya beberapa teman yang bernama DEDE, mungkin karena waktu bayi orang tuanya lama ga kasih nama/belum menemukan nama yang cocok akhirnya dipanggil dede selama belum ada nama. Beberapa bahkan tetap mencantumkan dede (yg berarti adik) dalam akta lahir mereka. Apapun nama yang diberikan orang tua kepada kita, saya yakin pasti memiliki arti dan doa tersendiri. Sekarang saya mau cerita tentang pengalaman saya dan orang-orang disekitar saya. Setelah mengamati dan mengalami sendiri, saya merasa heran kenapa kok kayaknya susah sekali bagi mereka untuk memanggil dengan nama. Maksudnya? Well, try: Ndut, Tem, Seng (geseng/gosong), Buluk dan sederet panggilan lain yang kurang indah di dengar. Nggak usah jauh-jauh, nama saya saja deh. Nama saya Nurhasanah, orang tua saya menyisipkan doa dalam nama saya. Nur yang artinya cahaya, hasanah yang artinya kebaikan (ini katanya ya, saya nggak bisa bahasa Arab wkwkwkw), nama panggilan saya Nunu. Simpel. Tidak bertele-tele. Tetapi sejak saya mulai bisa mengingat, hampir semua orang di sekitar saya memanggil saya: Sireng, Geseng, Rumpeng, Kopi buket, kopi tubruk, gendut dan segala macam sebutan lainnya yang berarti sama: HITAM dan GENDUT. Mungkin mereka berfikir saya terbiasa dengan sebutan tersebut. Jawabannya? Never! Tidak pernah dan tidak akan pernah. It hurts. Dipanggil dengan sebutan-sebutan yang (menurut saya) berkonotasi negatif itu sangat menyakitkan dan (agak alay dan lebay dikit yaaa) melukai kepercayaan diri saya. Di Belanda, belum pernah saya melihat/mendengar orang tua maupun orang-orang disekitar anak-anak memanggil seseorang dengan sebutan yang "ajaib". Anak-anak yang saya asuh saya panggil 'schatje' (yang berarti sayang/cutie, dari kata schat yang berarti sayang atau treasure alias harta karun), 'liefje' (yang juga berarti sayang) atau nama. Simpel. Tidak ada julukan. Mungkin pemendekan nama kalau namanya terlalu panjang. Intinya saya cuma mau bilang, panggillah seseorang dengan namanya. Bukan dengan warna kulitnya, bentuk tubuhnya atau kekurangan yang dia miliki. Tanpa kita sadar, kita menyakiti hati seseorang dengan lidah kita, continuosly dan kita tidak tahu efek apa yang kita timbulkan dari kebiasaan kita tersebut. Dalam nama ada doa. Doa dari orang tua dan hal paling minimal yang bisa kita lakukan adalah hargailah nama pemberian tersebut. Panggillah seseorang dengan namanya. Cheers! :)

Wednesday, May 22, 2013

Au Pair (lagi)

Kali ini saya mau posting tentang au pair (lagi) karena beberapa waktu yg lalu saya sempat "berpapasan" dengan seseorang yang bekerja sebagai agen au pair di Indonesia. Dulu ketika memutuskan menjadi au pair, saya sempat berfikir untuk menggunakan jasa agen karena saya pikir segala urusan akan lebih mudah (visa, dokumen yang dibutuhkan, dll) namun ketika saya bertanya kepada agen tersebut, fee yang mereka pasang waktu itu adalah sekitar 1000 USD alias sekitar 10 juta rupiah (tahun 2006). Uang segitu banyak sekali untuk saya, jadi saya urungkan niat saya untuk pergi menjadi au pair. Kemudian di tahun 2008 saya bertemu dengan pacar (yang sekarang suami) dan mendapat info bahwa au pair bisa pergi secara independent tanpa agen dari Indonesia dan ternyata prosesnya tidak serumit yang saya bayangkan. Memang dokumen-dokumen pendukung harus di terjemahkan dan di legalisir oleh tiga pihak yaitu Departemen Luar Negeri, Departemen Kehakiman dan Kedutaaan Besar Kerajaan Belanda, dokumen-dokumen tersebut (biasanya hanya diminta akta lahir yang sudah di perbarui dan umur dokumen tidak boleh lebih lama dari 6 bulan sejak tanggal di terbitkan, beberapa teman diminta surat keterangan single dari KUA/Capil, surat kelakuan baik dari kepolisian dan surat keterangan sehat dari dokter namun rata-rata hanya menyerahkan akta lahir yanfg sudah di perbarui, di terjemahkan dan di legalisasi), buat yang malas, bisa langsung memakai jasa penerjemah tersumpah untuk mengurus legalisasi tersebut. Dulu saya malas, lagipula saya tinggal di Jogja, perkiraan saya untuk biaya bolak balik ke Jakarta dan tinggal di hotel akan memakan biaya banyak, jadi saya pakai agen saja. Setelah semua dokumen itu di terjemahkan dan di legalisir, saya serahkan dokumen tersebut pada seorang konsul di Jogja kemudian dia yang akan mengirim semua berkas ke Jakarta. Saya tinggal duduk manis saja di Jogja menunggu paspor saya kembali dengan visa di tangan. Sekarang calon au pair harus ke Jakarta sendiri untuk memasukkan dokumen ke Kedutaan Belanda namun proses lainnya tidak seseram yang dibayangkan. Kemarin (14 mei 2013) saya baru telfon IND (Immigratie en Naturalisatie Dienst atau Kantor Imigrasi dan Naturalisasi) mengenai au pair, mereka menjawab dengan tegas bahwa calon au pair yang menggunakan agen di negara asalnya, TIDAK BOLEH membayar lebih dari 34 euro atau setara dengan kurang lebih 400 ribu rupiah dan mengenai biaya tiket perjalanan untuk calon au pair adalah sepenuhnya kesepakatan calon host family dengan calon au pairnya, bisa di tanggung hostfam, bisa di tanggung au pair atau ditanggung kedua belah pihak, TIDAK ADA satupun peraturan dari IND yang mewajibkan calon au pair bayar tiket sendiri. Mulai 1 juni 2013 nanti, IND akan mewajibkan calon hostfamily yang akan memohon MVV (Machtiging Voorlopig Verblijf atau semacam visa sementara yang digunakan au pair untuk tinggal di Belanda) untuk memasukkan permohonan mereka via agent. Ketika saya tanya apakah peraturan tersebut berlaku juga untuk au pair, bahwa au pair harus menggunakan agen dari negara asalnya? Mereka menjawab TIDAK. Au pair TIDAK HARUS menggunakan agen dari negara asalnya dan kembali lagi, jika mereka menggunakan agen dari negara asal, mereka TIDAK BOLEH membayar lebih dari 34 euro kepada agen tersebut. Bahkan mereka heran kenapa au pair menggunakan agen dari negara asal? Mereka bisa berangkat sendiri... Saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Menjadi au pair itu mudah, segala urusan birokrasinya tidak sesulit seperti ketika beberapa orang hendak bikin E-KTP (yang katanya sampai sekarangpun mash heboh dan banyak yang masih belum dapat padahal udah nunggu sekitar setahun). Dan menurut pengalaman teman, jika semua dokumen lengkap, submit pagi, sore visa sudah siap :)

Thursday, January 17, 2013

Sepedaaaaa...

Mau cerita lagi nih setelah sekian lama ga bertelor *tepok jidat* Saya mau cerita soal sepeda yang biasanya di pakai oleh ibu-ibu yang berada di Groningen. Kenapa cuma di Groningen? Karena saya tinggal disini. Mau bilang se-Belanda tapi kok rasanya ga adil karena saya belum sempet survey kesana kemari jadi saya pakai Groningen saja ya. Ibu-ibu disini yang saya lihat hebat-hebat sekali. Kenapa? Well, mereka sepertinya sibuk sekali ya, harus urus rumah, suami, anak dan malah beberapa masih punya waktu untuk mengejar karir, hanya sebagian kecil keluarga yang mampu membayar nanny/au pair karena tenaga kerja disini muahhhaaaallllnyaaaaa... *tutup mata*. Saya jadi heran, apa ga capek tuh? Di Indonesia aja kadang biarpun ibu tinggal dirumah, pembantu masih tetep pake. Nah berhubung kerjaan saya adalah pengasuh anak maka saya berkesempatan 'merasakan' bagaimana sih menjadi seorang ibu walaupun saya belum punya anak :) Di sini saya mau cerita soal moda transportasi saja dulu yang paling mencolok. Seperti diketahui orang banyak, moda transportasi utama orang Belanda adalah sepeda. Hampir semua orang Belanda pasti punya sepeda (saya nggak berani bilang semua :p). Apapun pekerjaan mereka, apabila jarak dari rumah dan tempat kerja tidak terlalu jauh dan pekerjaan mereka tidak menuntut mereka untuk bepergian jauh, maka mereka termasuk saya akan memanfaatkan sepeda sebagai moda transportasi termudah. Intermezzo: Ibu saya sempat heran dengan hal ini, beliau bertanya: Bos kamu kerjanya apa? Jawab saya: Si suami dokter umum dan si istri dokter bedah. Ibu: Mereka kalo ke tempat kerja naik apa? Saya: Sepeda. Ibu: Apaaa?? Ga punya mobil? Saya: Punya. Ibu: Kenapa ga naik mobil? Saya: Tempat kerjanya deket, paling 10 menit naek sepeda... Ibu: (Nganga, speechless) Saya: (Ngikik) Hehehehehehe... Syukurnya, saya tinggal di Groningen, salah satu kota yang sangat bersahabat dengan sepeda :) Saya mengasuh tiga anak. A berumur 5 tahun, B beurmur 3 tahun dan C berumur 1 tahun. Nah, kadang-kadang saya harus ke suatu tempat dengan tiga anak sekaligus, bagaimana saya mengatasinya? Well, kalo hanya untuk ke supermarket atau ke taman bermain biasanya saya jalan kaki dengan C berada di kereta dorong sementara A dan B menggunakan sepeda jalannya (disini disebut loopfiets, loop = jalan dan fiets = sepeda). Sepeda ini bentuknya seperti sepeda biasa hanya tanpa pedal. Wujudnya seperti ini.
Praktis, mereka tidak cepat lelah dan mereka juga diajak bergerak karena mereka harus menggunakan kakinya untuk 'mengayuh' :) Berhubung A sudah sekolah, biasanya dia dantar oleh papa atau mamanya. A sudah bisa bersepeda sendiri sejak berumur 3,5 tahun dan dia masuk sekolah sejak umur 4 tahun. Sejak masuk sekolah, A selalu bersepeda sendiri. Nah tugas sayalah untuk menjemput dia dari sekolah, ketika menjemput A, saya harus membawa kedua adiknya. Bagaimana saya membawa B dan C tanpa repot? Well, kadang saya jalan dengan C di kereta dorong dan B dengan loopfiets-nya. Tapi ketika saya sedang malas jalan kaki, maka saya akan menggunakan sepeda. Ada dua opsi yang saya pakai ketika membawa B dan C dengan sepeda. Di bonceng di depan dan di belakang, seperti ini.
Di kursi anak depan, ada semacam 'layar' untuk menghindari angin dingin di waktu musim dingin karena kursi depan hanya untuk anak-anak hingga berusia sekitar 1,5 tahun (tergantung besar/kecilnya anak), sementara kursi belakang dapat untuk anak hingga usia 5 tahun. Kedua kursi dilengkapi dengan sabuk pengaman. Aksesori wajib disini :) Tapi kadang-kadang, hawa dingin yang menusuk atau hujan deras yang mengguyur membuat saya tidak tega membawa mereka di sepeda dengan kursi anak, saya punya satu opsi lain. Namanya fietskar :) Dan bentuknya seperti ini.
Nah yang seru dari fietskar ini, gandengannya bisa dicopot untuk kemudian dijadikan kereta dorong :) Seperti ini.
Jadi saya bebas memilih, moda transportasi mana yang akan saya gunakan untuk membawa anak-anak ke, entah ke, taman bermain, belanja, antar jemput, bermain dll :) Ada satu lagi sepeda unik dengan nama bakfiets (bak = kotak/bak, fiets = sepeda). Dilihat-lihat, bakfiets ini mirip dengan becak. Saya sendiri belum pernah mengendarai bakfiets tapi dari cerita teman-teman sesama au pair dulu dan ibu-ibu yang saya temui, mengendarai bakfiets ini lumayan berat. Mau tahu bentuk bakfiets? Ini dia.
Begitu saudara-saudara! :p Sepeda merupakan salah satu alat tranportasi penting jadi jangan heran kalau ke Belanda, sepeda dimana-mana. Bahkan saking biasanya, ketika saya ditanya: Kamu olahraga? Dan saya jawab: Iya, saya bersepeda dari tempat kerja dan ketika pulang dari tempat kerja. Si penanya akan tersenyum geli karena bersepeda saya tidak bisa disebut olahraga, hehehehehehe... Foto source: Google (berhubung saya lupa terus bawa kamera :D

Tuesday, August 21, 2012

Saya belagu (bahasa Tegalnya: Aku KEMAKI!!!)

Judulnya njiji'i ya? Hehehehehe... Kenapa saya bilang saya belagu? Ada beberapa hal yang membuat saya berpikir bahwa saya belagu, beberapa hal yang saya temui selama perjalanan saya, ketika transit, ketika berada di Imigrasi bandara Soekarno Hatta dan ketika saya berada di kota kelahiran saya, Tegal, maupun di Jogja. Beberapa hal tersebut menggelitik pikiran saya dan kemudian membuat saya memberi label pada diri saya sendiri yaitu label BELAGU alias KEMAKI kalo kata orang Tegal.
Ketika menaiki pesawat dari Schiphol Amsterdam menuju Istambul Turki, saya dibuat kaget oleh fasilitas pesawat yang minim. Minim disini dalam artian hiburan di dalam pesawat alias inflight entertainment-nya hanya: musik. Ya, musik saja. Tidak ada layar televisi di depan saya dimana biasanya saya bisa memilih film-film terbaru untuk saya tonton sebagai hiburan selama penerbangan saya menuju Istambul, Turki yang berdurasi selama kurang lebih 4 jam tersebut. Disitulah saya merasa saya belagu. Kenapa? Saya bertanya pada diri saya sendiri, sepenting apa sih in-flight entertainment itu ketika tujuan kita naik pesawat adalah untuk pulang dan menemui keluarga tercinta? Menemui orang tua, saudara, keponakan, kerabat, keluarga besar? Apa artinya duduk manis tanpa hiburan selama 4 jam saja dibanding dengan rasa rindu yang sudah dipendam selama kurang lebih setahun penuh malah kadang lebih? Akhirnya saya mengaduk-aduk tas saya untuk mencari buku yang sedianya akan saya baca ketika saya transit, memasang earphone saya untuk mendengarkan musik (ada beberapa pilihan channel musik, ada jazz, klasik, pop, dll) dan membaca buku dengan tenang sementara rekan penumpang di sebelah saya asyik ngupil, hahahaha...
Kemudian tiba di Turki, kembali saya merasa belagu. Untuk mencapai gate, pintu pesawat tidak dilengkapi dengan belalai yang menghubungkan pesawat dengan pintu kedatangan. Kami harus turun tangga pesawat untuk kemudian di jejalkan ke dalam bus yang kemudian mengantar kami menuju ke gerbang kemerdekaan... eh, gerbang kedatangan. Disitu saya sempat manyun. Kenapa? Karena udara panas sekali di Turki! Kenapa mereka tidak memiliki fasilitas yang membuat penumpang merasa nyaman? Apalagi saya membawa koper kecil seberat 8 kg dan tas tangan berisi laptop dan kamera besar. Lalu saya berpikir: Belagu amat sih saya ini, masih mending pesawat mendarat dengan selamat tanpa masalah apapun dan mereka masih menyediakan bus yang mengantarkan kami ke gerbang kedatangan yang sebenarnya letaknya tidak terlalu jauh dari tempat parkir pesawat. Coba kalo disuruh jalan? Apa nggak tambah manyun? Hehehehehehe.. Akhirnya saya masuk gerbang, melalui custom untuk yang kedua kali dan menunggu selama kurang lebih tujuh jam untuk penerbangan saya selanjutnya sambil menikmati frappuccino... Sluuurrrrpppp... (nggak puasa, kan musafir, hahahahaha...)
Ketika waktu boarding sudah dekat, saya kebelet pipis. Jam menunjukkan pukul 23.30 malam dan sayapun beranjak mencari toilet terdekat. Ketika sampai disana, petugas kebersihan toilet melambai-lambaikan tangan sambil berkata: No, Madame... No... Its closed. Saya mengerutkan kening, bandara internasional kok toiletnya bisa tutup? Saya pergi sambil ngomel-ngomel. Itulah bentuk ke-belaguan saya yang lain. Toilet itu di bandara banyak, tidak cuma satu. Kalo yang itu tutup, toh saya bisa menuju toilet lain (yang pada akhirnya saya lakukan karena kebelet banget), kenapa saya harus marah-marah dan mengeluh? Masih untung toiletnya gratis dan bersih. Mungkin toilet yang tutup itu masih dalam tahap pembersihan total yang tidak akan bisa dilakukan apabila masih ada orang mondar mandir kesana. Coba kalo saya ke gerai makanan di Belanda, udah toiletnya kadang-kadang saja bersihnya, mau pipis aja harus bayar 30 sen (kurang lebih 4000 rupiah). Akhirnya saya pergi pipis di toilet dekat boarding gate. (Kalo nunggu naik pesawat keburu ngompol, hahaha...)
Kali ini di dalam pesawat sudah ada in-flight entertainment jadi berkuranglah gerutuan saya :p
Tiba di Singapura, kami harus keluar dari pesawat untuk kemudian masuk lagi, numpang lewat di Singapura karena banyak penumpang yang tujuan akhirnya adalah Singapura. Kembali ke pesawat, penumpangnya hanya tinggal kurang dari separuh saja jadi banyak bangku kosong. Sebagai penumpang yang baik, saya duduk di kursi saya sesuai nomor kursi penerbangan saya sementara ada beberapa orang yang berpindah-pindah tempat duduk mirip kucing beranak. Yang saya perhatikan adalah seorang bapak. Pertama bapak tersebut duduk di kursinya sendiri sesuai nomor tiketnya (Saya asumsikan saja begitu) lalu mungkin karena merasa kurang nyaman, bapak tersebut pindah ke bagian lain pesawat dan duduk di kursi dekat jendela, belum lima menit duduk di kursi tersebut, bapak tersebut pindah ke kursi di bagian tengah pesawat, lalu berbaring (bagian tengan pesawat memiliki 4 kursi dalam sebaris, sementara bagian kanan dan kirinya hanya 2 kursi saja), mungkin merasa belum PW (Posisi Wuenak) bapak tersebut pindah lagi, kali ini ke depan kursi saya. Saya sih tidak keberatan, wong saya lagi nonton serial The Big Bang Theory kok jadi saya cuek saja. Saya mulai merasa keberatan ketika bapak tersebut menurunkan kursinya hingga ke posisi setengah berbaring, jadi jarak antara saya dan layar televisi tinggal beberapa sentimeter saja. Saya masih diam dan kemudian menurunkan kursi saya agar agak menjauh dari posisi layar (Di belakang saya adalah dinding pembatas kelas pesawat jadi saya tidak mengganggu siapapun ketika saya menurunkan kursi saya). Rupanya bapak tersebut masih belum PW dan kemudian mengangkat tangannya dan menaruhnya tepat di belakang sandaran kepalanya yang artinya kedua tangannya menghalangi layar televisi yang sedang saya tonton. Disitu saya hanya mengeluarkan: E...e...e... (jadi kaya Rihanna dengan lagu Umbrellanya yang di remix). Dan yang membuat saya kaget, bapak itu menggerutu!!! Saya memandang ke sekeliling saya, pesawat bisa dikatakan KOSONG, hanya beberapa kursi saja yang terisi, bahkan kursi di depan si bapak tersebut pun kosong. Dan saya tahu bahwa bapak tersebut (beserta istrinya) tidak seharusnya duduk disitu karena sebelum transit yang duduk di depan saya pasangan orang Turki (tau orang Turki dari bahasanya) yang sudah turun di Singapura. Saya merasa belagu tapi juga merasa di dzolimi. Kenapa? Saya sudah tertib duduk di kursi yang memang hak saya, saya memilih kursi di depan batas kelas pesawat karena saya tidak mau mengganggu orang lain kalau-kalau saya ingin menurunkan kursi saya dan ingin duduk setengah berbaring (walopun jarang sekali hal itu saya lakukan ketika naik pesawat), saya sadar saya terbang dengan kelas ekonomi jadi saya ingin semua orang di sekitar saya juga nyaman dengan keberadaan saya dengan kata lain kalo sudah memilih kelas ekonomi ya nggak boleh egois main baring-baring aja, di belakangnya ada orang loh. Maka saya pun berpikir untuk memanggil pramugari agar menegur bapak itu tapi saya lalu berpikir: Ah untuk apa ribut-ribut? Toh penerbangan hanya satu jam, sebentar lagi juga bapak tersebut akan diminta oleh pramugari untuk menegakkan kursinya kembali lagipula bapak tersebut juga orang Indonesia yang mungkin pulang dari mengunjungi anaknya yang entah ada dimana, bagaimana nanti kalau bapak saya dan ibu saya terbang untuk pertama kali ke Belanda dan melakukan hal yang sama? Kan saya tidak akan terbang dengan mereka untuk mendampingi. Akhirnya saya memilih bersabar hingga pesawat mendarat.
Ketika pesawat mendarat, saya turun dan langsung menuju bagian imigrasi untuk meminta cap masuk. Ketika antri itulah saya kembali merasa belagu. Di Belanda, kebiasaan antrinya sempat membuat saya bengong. Jarak antara satu orang dengan orang lainnya ketika mengantri itu kurang lebih sepanjang tangan (inget kalo pas sekolah disuruh lencang depan untuk merapikan barisan? Kurang lebih segitulah jarak antara dua orang yang sedang mengantri), itu kalo di supermarket, kalo di ATM beda lagi, jaraknya bisa dua kali itu jadi lebih jauh lagi. Kenapa? Karena orang sana, sense of privacy-nya tinggi sekali (sense of privacy itu apa ya bahasa Indonesianya? :D) Sudah menjadi semacam hukum tidak tertulis bahwa seseorang berhak atas ruang pribadi dia di tempat umum sebanyak sekian meter di sekeliling dia (kecuali di pasar atau di club atau di bar). Nah, di imigrasi Jakarta saya dibuat tidak nyaman karena yang mengantri di belakang saya jaraknya kurang dari sejengkal dari punggung saya. Disitulah saya merasa belagu. Mungkin orang di belakang saya berpikir bahwa semakin dekat dia berdiri dengan orang di depannya, semakin cepat urusan dia akan selesai, hehehehe... Untungnya antrian di bagian imigrasi tidak terlalu panjang jadi saya bisa dengan cepat minggat dari tempat itu dan keluar dari bandara untuk bertemu dengan keluarga saya yang menunggu di luar bandara...
Dari sepenggal cerita itulah saya merasa belagu apalagi setelah melihat arus mudik yang melalui jalur pantura dimana orang-orang rela melakukan perjalanan jauh menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, berjejal-jejal dengan barang-barang mereka, dengan orang lain, masih dihadang macet, terancam kecopetan dan atau kecelakaan. Taruhan mereka nyawa namun melihat wajah-wajah mereka yang penuh pengharapan karena akan bertemu dengan sanak keluarga setelah setahun bahkan mungkin lebih tidak bersua, rasanya 'penderitaan' saya tidak ada apa-apanya. Sayapun hanya bisa merasa malu di dalam hati :) Itulah mengapa saya bilang saya belagu... :D

Sunday, August 5, 2012

Cerita dari Kampung

Saya sedang di kampung! Hehehehe... Perjalanan yang memakan total waktu 25 jam membuat saya agak-agak lemot ketika mendarat dan tidak memperhatikan di pintu mana saya keluar dan alhasil para penjemput saya pun menunggu saya di pintu yang berbeda dengan pintu kedatangan saya. Itu salah satu kelemotan saya, kelemotan kedua adalah bahwa ketika setengah jalan di udara menuju Singapura (saya transit di Turki dan di Singapura), saya melihat matahari terbit sementara sebentar lagi pesawat mendarat di Singapura, maka sayapun panik karena saya meminta keluarga saya untuk menjemput saya di bandara pada pukul 6.20 sore dan bukan 6.20 pagi... Akhirnya karena terlalu panik, saya tanya penumpang di sebelah saya yang kebetulan mas-mas ganteng (eheemmm) tentang waktu mendarat dan syukurlah, dia bilang mendarat sore. Saya lega... Sebenarnya masih banyak kelemotan-kelemotan saya yang lain ketika di pesawat, transit maupun ketika mendarat tapi saya sudah tidak terlalu ingat lagi jadi tunggu saya ingat yaaa, hehehehe...
Sekarang saya mau cerita fenomena alam di kampung saya, hehehehe... Dan fenomena alam yang saya maksud adalah orang-orangnya :p. Kampung saya namanya Pagongan, salah satu desa di Kabupaten Tegal. Untuk ukuran kampung ya memang masih kampung banget lah, walopun suami saya ngotot bahwa kampung saya sudah bisa di bilang kota (hanya karena populasi penduduknya lebih banyak dari kampung kami di Belanda, cape deeehhh). Begitu sampai di rumah, saya di sambut tangisan ibu saya yang mengatakan bahwa saya tega... Waduh, emangnya saya lagu dangdut? Sungguh teganya... Teganyaaa... Teganyaaaa... Hehehehe... Setelah tangisnya reda, beliau mulai sibuk memasak untuk keperluan buka puasa dan saya langsung kalap melihat hidangan di meja, hahahaha...
Setelah ibu saya, akhirnya saya pun bertemu dengan keponakan-keponakan, kakak dan ipar, serta adik, maka acara bagi-bagi oleh-oleh pun segera dimulai. Kebiasaan saya tahun-tahun sebelumnya membawa coklat saya stop tahun ini karena melihat perkembangan gigi keponakan-keponakan saya yang memprihatinkan walopun mereka berjanji menggosok gigi tetap saja setiap kali saya mudik, entah kenapa gigi mereka lebih keropos dari tahun sebelumnya.
Lalu tibalah saatnya saya dihadapkan dengan orang-orang di kampung saya. Siapa? Tetangga , ibu-ibu yang membantu bude saya di rumahnya (pas saya maen kesana), bude saya (beliau ke rumah dan berbuka puasa bersama dengan kami). Pertanyaan yang pertama meluncur dari bude saya adalah (yang ini sudah saya duga): Katanya di Belanda dingin, kok kamu item? (Seminggu sebelum pulang, cuaca di Belanda mendadak indah dan matahari bersinar dengan gembira sehingga sengotot apapun saya menghindari matahari, kulit saya tetap saja berubah warna). Jawaban saya: Emangnya di Belanda nggak ada matahari? Dan semuapun tertawa, selanjutnya saya bilang: Orang baru ketemu sih bilang: wah sehat yah, wah kayanya disana seneng yah? Ini sih malah ngejatohin, kok item? Kok gemuk? Tar kalo kurus, suami saya dituduh nggak ngasih makan lagi! Kalo kurus nanti disangka disana menderita tekanan bathin... Cape deeehhhh... Dan bude saya hanya tertawa kecil sambil diam. Skak mat!
Pertanyaan lain yang dilontarkan tetangga saya sambil teriak-teriak karena mereka bertanya sambil lalu yang membuat saya agak-agak sebel adalah: Nu, anunya mana? Atau: Nu, itunya mana?
Well, 'anu dan itu' itu maksudnya apa? Ternyata yang dimaksud mereka adalah suami saya! Saya pun mengerutkan kening, kenapa mereka tidak bisa bilang: Suaminya mana? Biasanya kalo ditanya begini, saya cuma teriak balik: Anunya siapa? Lalu saya pergi.
Belum lagi pertanyaan masalah anak yang sepertinya juga tidak bisa mereka lontarkan dengan normal: Kok belum bati? (Bati itu laba di bahasa Tegal). Lah emangnya saya jualan apa kok pake laba? Ternyata maksudnya kok belum hamil? Kok belum punya anak sementara saya menikah sudah sejak satu setengah tahun yang lalu. Perempuan masih dianggap komoditas dengan “pengkasaran” bahasa semacam ini. Laba, belum laku, lakunya mahal (kalo kebetulan dapat suami orang kaya). Saya sebagai perempuan terus terang sering sekali merasa tersinggung karena kesannya kita sebagai perempuan adalah semacam 'dagangan' yang harus laku sebelum menginjak umur sekian dan memiliki laba setelah menikah. Kasihan ya perempuan? Hahahaha... :p
Sayangnya, saya tidak bisa mencoba menjelaskan bahwa saya belum mau hamil dan belum mau punya anak (kalo saya bilang begitu, mereka akan memandang saya dengan tatapan: you're out of your mind alias kamu sudah gila!!!) karena mereka berfikir memiliki anak itu yang membuat perempuan menjadi sempurna, memiliki anak itu kewajiban dan kalau setelah menikah belum juga hamil atau memiliki anak maka perempuan belum sempurna menjadi wanita. Well, BITE ME!! Saya perempuan tulen yang (mudah-mudahan) tidak memiliki kekurangan apapun dalam hal kewanitaan saya. Pernikahan saya baru berumur seumur jagung dan saya masih mencoba mengenali partner saya, kehadiran anak akan membuat tugas saya mengenali partner saya tidak maksimal maka kami berdua memutuskan menunda momongan selain karena anak itu (sekali lagi) tanggung jawab besar yang tidak bisa kami putuskan dalam waktu semalam saja.
Saya sempat bertemu teman lama saya yang belum lama ini berpisah dari suaminya. Dia pun bercerita tentang beberapa teman kami yang ditinggal suami-suami mereka setelah menikah dengan umur pernikahan seumur jagung dan sudah memiliki anak. Saya pun berpikir: Menikah itu menggabungkan dua kepala menjadi satu. Dua kepala itu belum pernah tinggal bersama dibawah satu atap, dua kepala itu masih berusaha mencerna kebiasaan-kebiasaan baru satu sama lain dan dua kepala itu sudah memiliki satu kepala kecil yang kebanyakan orang tidak tau apa yang terjadi di dalam kepala kecil itu? Well, saya tidak tau bagaimana rasanya menikah dan langsung memiliki anak dan saya masih terlalu pengecut untuk melakukan hal itu tapi saya berdoa, mudah-mudahan saja keputusan saya dan suami saya menunda kehadiran buah hati di tengah kami adalah langkah terbaik untuk kami berdua :)
Itulah fenomena alam di kampung saya :)

Pagongan – Tegal, Sabtu 4 Agustus 2012

Sunday, July 8, 2012

Taman Bermain (Speeltuin)



Beberapa waktu lalu saya tiba-tiba teringat pengalaman saya waktu kecil. Pengalaman apakah itu? Pengalaman bermain tentu saja :) Sekarang ini banyak sekali anak-anak yang lebih memilih menonton televisi dan bermain permainan komputer daripada berlarian di luar atau di lapangan atau sekedar bermain gundu di teras rumah :(
Pertama kali datang ke Belanda dan melihat fasilitas bermain anak-anak di luar ruangan, saya sempat kaget. Saya pikir, taman bermain hanya ada di sekolah-sekolah saja. Ternyata tidak. Taman bermain tersedia di mana-mana. Di tengah desa, di tengah kota, di kampung. Kemana saja saya pergi, ke desa terkecil sekalipun, saya pasti melihat taman bermain. Bahkan di taman kecil di belakang rumah saya pun ada satu taman bermain!
Taman bermain yang ada di sekitar sini biasanya di bangun oleh Pemerintah Kota setempat, ada juga taman bermain yang merupakan fasilitas dari restauran namun taman-taman bermain ini biasanya berada di tempat- tempat pariwisata. Ada juga taman bermain tertutup, biasanya dimiliki oleh perorangan atau perusahaan dan mewajibkan kita membayar tiket masuk. Taman bermain tertutup biasanya ramai ketika musim gugur atau musim dingin karena udara dan suhu di luar mulai tidak bersahabat.
Taman bermain terbuka yang di bangun oleh Pemerintah Kota setempat selalu gratis, anak-anak boleh bermain sepuas hati. Biasanya mereka memiliki waktu buka dan tutup dan memiliki pengawas untuk menghindari penggunaaan taman bermain yang tidak diinginkan seperti menjadi tempat nongkrong anak-anak remaja, tempat merokok ganja dan lain-lain. Namun banyak juga taman bermain terbuka yang berada di tengah kota dan terbuka untuk siapa saja.
Ukuran taman bermain dan jumlah permainan yang disediakan bervariasi antara satu taman bermain dengan taman bermain yang lain. Taman bermain yang kecil otomatis tidak memiliki banyak permainan dan biasanya di peruntukkan bagi anak-anak di bawah lima tahun. Permainan yang disediakan biasanya meliputi: papan seluncur, jungkat jungkit, ayunan, bingkai untuk memanjat (semacam palang panjat) dan beberapa bangku panjang untuk duduk. Taman bermain yang besar biasanya memiliki lebih banyak permainan dan bervariasi tetapi tidak selalu demikian. Taman bermain besar yang sering saya kunjungi bersama anak-anak asuh saya berisi: Palang panjat besar, bak pasir besar dengan rumah-rumahan kayu di tengah-tengahnya, trampolin kecil, papan seluncur (perosotan), jungkat jungkit, flying fox, lapangan basket, dan lain-lain. Ada pula taman bermain besar yang hanya terdiri dari bak pasir super besar dengan palang panjat besar di tengah-tengahnya.
Tujuan taman bermain tersebut jelas, agar anak-anak dapat dengan leluasa dan aman bermain di luar rumah, bergerak dengan aktif dan menikmati cuaca hangat yang jarang sekali terjadi di Belanda :)
Melihat taman-taman bermain yang ada disini, saya langsung teringat keponakan-keponakan saya di Tegal yang sepertinya lebih bahagia dan merasa lebih keren ketika bermain dengan permainan komputer atau menonton acara televisi ketimbang berlari-larian diluar rumah dan menikmati udara segar. Padahal menonton televisi lebih dari 30 menit sehari, efeknya sangat buruk untuk anak-anak. Otak mereka menjadi malas (saya contoh hidup nih, hehehe) dan menjadi kurang kreatif, lebih mudah menyerah ketika dihadapkan pada suatu masalah yang membutuhkan konsentrasi, dan lain-lain. Saya merasa kasihan pada keponakan-keponakan saya, pada anak-anak di Indonesia yang ketika ingin bermain harus pergi ke mall-mall dan membayar sekian ribu rupiah hanya untuk menikmati mandi bola. Lahan-lahan untuk bermain anak-anak dipersempit dan dibangun gedung-gedung dan mall-mall menjulang tinggi. Miris nggak sih?
Masa kecil saya sendiri bisa dibilang badung, hehehehe... Mencuri tebu di sawah dekat rumah itu bukan sekali dua kali di lakukan, bersepeda diantara hamparan sawah yang membentang, bermain di lapangan dekat rumah yang kabarnya sekarang akan di bangun sekolah, bermain di halaman depan rumah, bermain petak umpet di halaman rumah tetangga. Semua lahan itu seperti tidak tersisa sejak beberapa tahun yang lalu karena digunakan untuk membangun rumah yang lebih besar, lebih megah padahal penghuninya hanya dua hingga tiga orang saja...
Well, mudah-mudahan anak-anak saya nanti bisa berlarian dengan bebas dan menikmati waktu mereka sebagai anak-anak dengan layak. Amin :)

Tuesday, June 12, 2012

Random Conversations V

Balik lagi ke Random Conversations, kali ini soal pertanyaan-pertanyaan dari keluarga dan kerabat di Indonesia setiap kali saya akan mudik maupun ketika sudah di Indonesia ;)Karena sebentar lagi saya mudik ke Indonesia. Well, sebentar laginya masih kurang lebih 6 minggu lagi, hehehe...
Walaupun masih 6 minggu lagi tapi saya sudah mulai mempersiapkan oleh-oleh sejak beberapa bulan yang lalu sampai sekarang saya masih sering berburu oleh-oleh apalagi kalo pas ada diskon dan kebetulan sebentar lagi musim diskon jadi berburu oleh-oleh saya jalani dengan semangat (maklum, hobi belanja tapi pelit, hahaha). Tapi bukan hanya oleh-oleh saja yang saya persiapkan. Kesehatan fisik pasti. Mental juga saya persiapkan. Kenapa harus siap mental? Karena saya akan mudik dan menghadapi seluruh keluarga saya. Kebetulan saya mudik bertepatan dengan bulan puasa dan saya mudik sendirian. Mental saya harus diperkuat karena pasti banyak yang akan menanyakan: Kenapa belum punya anak? Nikah sudah hampir setahun kok belum hamil? Mungkin bahkan akan ada gunjingan dari beberapa pihak yang pasti akan mampir ke telinga saya hasil laporan dari beberapa anggota keluarga. Rasanya sulit bila saya harus menjelaskan ke seluruh dunia (weh, lebaynya keluar) bahwa kami (saya dan suami) memang menunda memiliki anak. Alasan finansial menjadi pertimbangan utama kami. Mungkin akan ada yang bertanya: Loh anak kan punya rejeki sendiri? Oh saya tidak memungkiri hal itu tapi bagi saya lebih baik kami memiliki kondisi finansial yang stabil baru punya anak daripada punya anak duluan lalu mengharapkan bahwa keadaan finansial kami akan berubah setelah memeiliki anak. Kasian jabang bayi dong kalo gitu ;) Lagipula kami berdua masih menikmati waktu pacaran, bisa berduaan tanpa harus minta tolong ke kanan dan ke kiri untuk menjaga anak apabila kami mau ngelayap. Suatu waktu saya pernah ditanya oleh kakak saya kenapa kami menunda punya anak, alasan saya waktu itu cuma satu: Repot, saya masih mau kerja (walopun kerja saya juga momong anak, hehehe). Meluncurlah pertanyaan dari kakak saya: Loh, memangnya mertua kamu jauh ya rumahnya? Saya agak bingung, apa hubungannya anak saya dengan mertua saya? Jawab kakak saya: Kan bisa dititipin. Saya cuma bisa ngakak. Inilah penjelasan saya: Mertua saya dua-duanya masih sangat aktif, mereka masih bekerja, mereka memang tidak tinggal terlalu jauh, sekitar 45 menit dari rumah saya ditempuh dengan kendaraan pribadi tapi yang jadi alasan kenapa saya tertawa adalah anggapan bahwa cucu adalah tanggung jawab kakek neneknya. Mungkin di Indonesia hal ini biasa ya, tapi disini ketika pasangan memutuskan untuk memiliki anak maka anak tersebut adalah tanggung jawab pasangan tersebut. Bukan tanggung jawab kakek nenek, paman dan bibi apalagi om dan tante. Kalo si anak akan ditinggal bekerja ya urusan orang tuanya masalah pengawasan anak akan diserahkan kepada siapa. Kebanyakan orang sini memasukkan anak-anak di bawah usia sekolah ke daycare apabila mereka adalah pasangan bekerja. Saya maunya sih anak saya ya saya pegang sendiri. Daycare juga mahal dan subsidi dari pemerintah tidak seberapa. Intinya: Punya anak disini (untuk kami) masih mahal dan kami memang belum mau punya anak. Tapi saya ragu argumen ini akan membuat orang-orang disekitar saya nanti berhenti bertanya-tanya kenapa kami menunda memiliki momongan.
Pertanyaan lain yang kadang bikin saya mumet adalah: Lama di Belanda kok masih item? Hehehehe... Well, di Belanda juga ada matahari, itu satu. Kedua, bapak saya item jadi wajar kalo saya juga item. Dan yang ketiga, kami disini kebagian matahari cuma sekitar 3 bulanan dalam setahun itupun tidak terus menerus, kadang seminggu di musim semi atau musim panas cuaca bagus jadi kita bisa menghangatkan diri di bawah sinar matahari tapi setelah itu kami harus menunggu sampai 3 minggu lamanya untuk kembali melihat sinar matahari. Jadi nggak salahkan kalo saya jadi kalap sama sinar matahari, hehehe...
Seperti sekarang saja, harusnya sudah masuk musim panas tapi cuaca diluar masih mendung-mendung tidak karuan dan suhu hanya 15 derajat saja. Argumen saya yang lainnya adalah kulit saya memang gampang sekali menggelap, tidak usah sampe berjemur, kalo seminggu cuaca lumayan panas dan terik, walopun saya terus-terusan mengurung diri di dalam rumah, tetap saja kulit saya menggelap.
Pernah juga karena takut hitam, saya keluar rumah pakai jaket dan kebetulan di jalan berpapasan dengan salah satu tetangga saya, tau apa komentarnya? Katanya: Kamu gila ya panas-panas gini pake jaket? Lepas dooonnnggg!! Saya cuma senyum sambil dalam hati berkata: Belum pernah ke Indonesia ni orang, hahahaha...
Suatu kali saya juga memilih membaca buku di dalam rumah ketimbang duduk-duduk di taman belakang di bawah sinar matahari, reaksi suami? Tanpa permisi dan tanpa ba bi bu langsung menarik saya keluar rumah dan mendudukkan saya di bawah sinar matahari! Kata suami: Jarang-jarang liat matahari kok cuaca bagus begini malah ngumpet!
Pertanyaan lain biasanya mengenai oleh-oleh. Mana oleh-oleh untuk saya? Kok cuma ini? Kok cuma itu? Bawain ini ya? Bawain itu ya? Well, untuk masalah oleh-oleh biasanya saya lumayan 'kejam' dalam menjawab. Kalo ditanya: Mana oleh-oleh untuk saya? Jawab saya: Kamu 'nyangoni' saya berapa kok nagih oleh-oleh? :D
Kalo ditanya: Kok cuma ini? Jawab saya: Ga mau? Ya udah sini saya kasih ke yang mau... Hehehe...
Kalo ditanya: Bawain ini dan itu ya? Jawab saya: Sampe sono bayar seharga ini dan itu ya? :D
Untuk oleh-oleh saya memang jarang membawa banyak. Hanya untuk keluarga inti saja dan itupun prinsip saya kalo anaknya udah dapet ya emak bapaknya ga perlu oleh-oleh juga, hehehe...
Saya belajar agak 'kejam' sekarang karena kalo diturutin ga akan ada habisnya sementara saya mudik tiap tahun, mosok iya ga ada bosen-bosennya minta oleh-oleh? Paling suka jawaban keponakan saya kalo saya tanya mau oleh-oleh apa (umur keponakan masih 5 tahun jadi lucu aja denger jawaban dia), jawabnya: Pinsil warna! Kalo ditanya: Emang di Tegal ga ada toko yang jual pinsil warna? Jawabnya: Mau yang dari Belanda!
Hehehehe...
Tapi walaupun banyak hal yang sering bikin saya tutup kuping, saya tetap menunggu-nunggu mudik apalagi di bulan puasa. Soalnya saya udah hampir jadi Bang Toyib, udah 3 kali puasa 3 kali lebaran saya ga mudik. Mudiknya selalu diluar bulan puasa dan diluar lebaran, hehehe...